Rabu, 09 Oktober 2013

AKTIFITAS


Saya masih sering menemukan ada yang menulis kata “aktifitas”. Bener gak sih kata yang dalam KBBI artinya “keaktifan; kegiatan” itu ditulis dengan kata itu?

Yah, kalau kita lihat di KBBI sih, gak akan nemu tuh kata “aktifitas” itu, termasuk dalam bentuk turunan dari kata aktif. Jadi, jelas banget kalo bentukan kata itu salah.

Emang gimana ceritanya sih sampe bisa kebentuk kata aktivitas? Kenapa bukan aktifitas aja?

Begini mungkin alasannya:

Alkisah, kata aktivitas ini adalah kata yang diambil dari kata bahasa Inggris activity. Kata activity ini disesuaikan penulisannya ke dalam bahasa Indonesia. Nah, buat menyesuaikan ejaan asing ini, bahasa Indonesia punya aturannya sendiri. Aturan ini jelas termaktub dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Jadi, ngubah ejaan asing jadi ejaan bahasa Indonesia itu enggak boleh semau kita.

Lalu, bagaimana aturan itu bekerja dalam kata “aktivitas”?

Dari Pedoman Umum Pembentukan Istilah, berkaitan dengan kata activity ini, ada beberapa aturan yang membuat kita mau gak mau harus mau kalo penyesuaian ejaan yang benar adalah aktivitas, bukan aktifitas.

Pertama: huruf c di muka a, u, o, dan konsonan menjadi k.

Karena huruf c pada activity ada di muka—maksudnya di depan, sebelum—huruf t yang tak lain tak bukan adalah konsonan, huruf c ntu berubah jadi k.

Kedua: huruf v tetap v.

Nah, aturan yang ini nih. v enggak berubah jadi f.

Terakhir, yang ketiga. Penyesuaian imbuhan asing: -ity menjadi -itas.

Jadi, kata activity, setelah disesuaikan ejaannya dalam bahasa Indonesia, jadi aktivitas. Bukan aktifitas.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Salam tampan!  

Jumat, 27 September 2013

MEMASIFKAN KALIMAT AKTIF


“Ngubah kalimat aktif jadi kalimat pasif itu gak bisa sembarangan, lho!”

Yah, selama ini, tiap saya iseng nanya ke murid tentang ngubah kalimat aktif jadi kalimat pasif, mereka bilang itu gampang. Tinggal ngubah imbuhan me- pada predikat menjadi di-.

Benarkah sesimpel itu?

Tidak. Ternyata gak semua kalimat aktif yang diubah jadi pasif tinggal ngubah imbuhan gitu.

Cara yang udah “familiar” banget sama kita ntu cuma berlaku kalo yang jadi subjek dalam kalimat aktif yang mau kita ubah jadi pasif adalah (kata ganti) orang ketiga. Misalnya kalimat ini:

(1) Kakak mencuci bajuku.

Itu kalimat aktif, kan? Nah, kalo kalimat ntu mau diubah jadi pasif, boleh tuh pake cara yang kita kenal itu. Hasilnya jadi Bajuku dicuci kakak atau Bajuku dicuci oleh kakak. (Penggunaan kata “oleh” di situ bersifat manasuka. Mau pake monggo, gak mau yowis, gak apa-apa. Tapi kata oleh ini jadi wajib muncul kalo kalimat yang mau kita pasifin punya keterangan dan setelah dipasifin kita naruh keterangan itu di belakang predikat. Misalnya Kakak mencuci bajuku tadi pagi. Dipasifin kan jadinya Bajuku dicuci tadi pagi oleh kakak).

Nah, kalo misalnya subjeknya adalah (kata ganti) orang pertama atau kedua, kita gak bisa nerapin cara itu. Cara yang ganteng buat ngubah kalimat aktif yang subjeknya orang pertama atau kedua adalah dengan cara (1) pindahin objek ke depan, (2) taruh subjek kalimat aktif di belakang objek yang udah dipindahin jadi di depan itu, dan (3) ilangin imbuhan yang ada di predikat.

Contoh.

(2) Saya mencuci baju milikmu.

Kalo dipasifin, kalimat itu jadi

(2a) Baju milikmu saya cuci.

Bukan

(2b) *Baju milikmu dicuci oleh saya.

Contoh lain misalnya kalimat Kamu sudah mencuci bajuku. Kalo diubah jadi pasif, kalimatnya jadi Bajuku sudah kamu cuci, bukan Bajuku sudah dicuci oleh kamu.

Oh, iya. Kudu dicatet juga, gak semua kalimat aktif dapat diubah jadi kalimat pasif. Kalimat aktif yang bisa diubah jadi pasif cuma yang predikatnya kata kerja transitif. Maksudnya kata kerja transitif adalah kata kerja yang diikuti objek.

Kalo kata kerja yang gak diikuti objek, bisa gak dijadiin pasif?

Coba ubah kalimat ini jadi pasif!

(3) Kami bermain sepak bola.

Bisa? Enggak. Karena sepak bola di sana bukan objek, tapi pelengkap.

Demikian sedikit tentang aktif pasif. Semoga ada manfaatnya.

Salam tampan!

Jumat, 20 September 2013

MENGAPA BISA AMBIGU?


Di postingan sebelumnya—nyang ngomongin kalimat efektif ntu—saya nulis sebuah kata yang kayaknya seru nih kalo dibikin tulisan sendiri. Kata apakah gerangan? Yak, ambigu!

Mengapa bahasa bisa ambigu?

Saya pernah baca buku Semantik I tulisan T.Fatimah Djadjasudarma. Dalam buku yang terbit dua tahun setelah saya lahir itu, beliau membagi ambigu (ketaksaan) ke dalam tiga jenis: ketaksaan fonetik, ketaksaan gramatikal, dan ketaksaan leksikal.

Yang dimaksud ketaksaan fonetik adalah ketaksaan yang nongol karena nyampurnya bunyi bahasa yang dilafalkan. Ketaksaan macem ini berhubungan dengan jeda pengucapan. Misalnya kata “beruang”. Kalo kita ngomong kata itu tanpa jeda kan maksudnya pasti nama binatang. Nah, kalo pake jedaber/uang—jadi beda lagi maknanya.

Yang kedua, ketaksaan gramatikal. Apakah gerangan maksudnya?

Ketaksaan gramatikal ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Nah, apa itu morfologi dan apa itu sintaksis? Males ah ngebahasnya di sini. Hehehe.. (^o^)v Kita kembali saja pada ketaksaan gramatikal. Pada jenis ini, ketaksaan muncul setidaknya karena dua hal. Pertama, karena pembentukan kata. Pengimbuhan misalnya. Contohnya penggunaan imbuhan pe-. Kalo misalnya awalan ntu kita tempelin ke kata dasar pukul, dan jadi kata pemukul, maknanya bisa lebih dari satu, kan? Nyang satu “alat untuk memukul”, satu laginya “orang yang memukul”. Kedua, perkara frase yang mirip sama kata majemuk. Contoh gampangnya adalah kata orang tua. “Ayah dan ibu” atau “orang yang dianggap tua”?

Jenis terakhir, ketaksaan leksikal, biasanya karena polisemi dan hominimi. Apa maksudnya polisemi dan hominimi? Pasti kalian tau, kan?

Jadi begitulah kira-kira penyebab mengapa ambigu bisa nongol dalam bahasa.

Segini aja postingan kali ini. Maaf jika kurang memuaskan.

Semoga bermanfaat.

Salam tampan!

Rabu, 04 September 2013

KALIMAT EFEKTIF: BEBERAPA CATATAN (2)


Ayo kita lanjutin lagi catetan yang udah diposting tempo hari. Catetan sebelumnya baru nulis dua dari entah berapa banyak yang kudu diperhatiin kalo mau kalimat yang kita pake jadi efektif. Pada postingan kali ini, saya, lelaki tertampan se-Asia Pasifik akan mencoba melanjutkannya.

Sekadar ngulang omongan di postingan sebelum ini, tulisan saya ini enggak dimaksudkan untuk mendaftar ciri-ciri kalimat efektif. Kalo ternyata menurut kalian yang saya tulis ini adalah ciri-ciri kalimat efektif, yaudah. Sebenernya sih cuma mau nyatet--dan kemudian mosting tulisannya di blog tampan ini. Sekadar membagi sesuatu untuk dibaca. :)

Baiklah, kita mulai saja.

KETIGA. Kalimat efektif itu kudu hemat.

Yap, bukan cuma jajan doang yang harus hemat. Bikin kalimat pun  juga kudu hemat.

“Kalimat yang hemat tuh kayak gimana sih, Ganteng?”

Hhmm. Gimana yak? Kalo jajan yang hemat, kan, yang gak berlebihan, yak? Nah, kalo nulis kalimat yang hemat berarti juga kalimat yang enggak berlebihan.

“Kalimat yang hemat itu yang kayak gimana, dah? Yang pendek-pendek, gitu?”

Belum tentu! Emang sih, kalo misalnya sebuah kalimat bisa kita tulis dengan kalimat yang pendek, males juga nulis yang panjang. Tapi kalo misalnya dengan kalimat yang pendek itu “sesuatu” yang mau kita sampaikan lewat kalimat itu jadi susah nyampenya, dan kalo misalnya dengan kalimat yang rada panjangan pesen itu bisa nyampe, ya lebih mending pake yang rada panjangan itu, kan?

Yang dimaksud dengan hemat di sini, gampangnya aja, adalah masalah pemilihan katanya. Biasanya, kalimat yang kurang efektif berkaitan dengan tidak hemat ini karena kita kurang ganteng dalam memilih kalimat. Akibatnya, kata yang kita pake jadi mubazir. Kenapa kata yang kita bikin bisa mubazir? Kemubaziran ini biasanya karena adanya pleonasme atau tautologi. Apa itu pleonasme dan tautologi? Hhmm, pleonasme itu nongol kalo kita ngejelasin sebuah gagasan/ide yang udah jelas. Tautologi itu kalo misalnya kita ngejelasin suatu gagasan/ide dengan gagasan/ide lain yang punya makna yang sama.

Bingung? Sama. :D

Mari kita pandangi contoh kalimat ini dengan penuh kemesraan.

(1) Banyak anak-anak berkeliaran di lokasi kejadian.

(2) Novel yang dibacanya sangat tebal sekali.

Berasa borosnya, kan? :)


Lanjut, sekarang catetan KEEMPAT. Kalimat yang efektif itu mesti logis.

Yap, salah satu hal yang bisa menyebabkan sebuah kalimat jadi enggak efektif adalah mengenai logis enggaknya kalimat itu.

Logis artinya masuk akal. Sesuai dengan logika. Berarti kalo kita membuat kalimat, kalimat itu harus sesuai dengan logika. Jangan kayak cinta--menurut Agnes Monica--yang katanya gak ada logika.
Ini adalah contoh kalimat yang tidak logis.

(3) Mobil itu mau dicuci oleh pemiliknya.

Logiskah kalimat tersebut?

Logis?

Kalo kalian bilang kalimat itu logis, coba jawab pertanyaan ini: apa mobil punya kemauan?

Yak, itulah kenapa contoh kalimat yang saya tulis itu enggak logis. Masa iya tuh mobil yang mau. Harusnya kan yang mau itu pemiliknya.

Contoh lain. Pernahkan kalian mendengar kalimat “Untuk mempersingkat waktu, ….”?

Itu juga termasuk contoh kalimat yang tidak logis. Coba bayangin, bisa gak waktu dipersingkat, atau mungkin diperpanjang? Enggak, kan? Mau digimanain juga waktu mah tetep aja 24 jam sehari, 60 menit sejam. Gak akan bisa dipersingkat, apalagi diperpanjang. :)


Lanjut, catetan KEEMPAT berkaitan dengan kalimat efektif adalah tentang ketaksaan/ambiguitas kalimat. Yang dimaksud dengan ambigu adalah memiliki makna lebih dari satu.

Pantengin contoh kalimat ini.

(4) Ayah membeli tiga karung beras.

Bisa kita artiin berapa banyak kalimat itu?

Seenggaknya, saya bisa nemuin dua makna dari kalimat (4). Pertama, ayah membeli beras sebanyak tiga karung. Kedua, ayah beli karung beras tiga biji.

Penafsiran saya enggak salah, kan?

Contoh lain.

(5) Saya sedang mencari pembantu.

Apa yang sedang saya cari? Pembantu yang udah kerja sama dia dan sekarang lagi pergi entah ke mana? Atau lagi nyari seseorang untuk dijadikan pembantu di rumahnya?

Demikianlah beberapa catetan mengenai kalimat efektif yang bisa saya tulis dalam postingan ini. Sebenernya masih ada, tapi nanti aja dah disambung lagi. :)

Semoga bacaan ini bermanfaat.

Salam tampan!