Jumat, 20 September 2013

MENGAPA BISA AMBIGU?


Di postingan sebelumnya—nyang ngomongin kalimat efektif ntu—saya nulis sebuah kata yang kayaknya seru nih kalo dibikin tulisan sendiri. Kata apakah gerangan? Yak, ambigu!

Mengapa bahasa bisa ambigu?

Saya pernah baca buku Semantik I tulisan T.Fatimah Djadjasudarma. Dalam buku yang terbit dua tahun setelah saya lahir itu, beliau membagi ambigu (ketaksaan) ke dalam tiga jenis: ketaksaan fonetik, ketaksaan gramatikal, dan ketaksaan leksikal.

Yang dimaksud ketaksaan fonetik adalah ketaksaan yang nongol karena nyampurnya bunyi bahasa yang dilafalkan. Ketaksaan macem ini berhubungan dengan jeda pengucapan. Misalnya kata “beruang”. Kalo kita ngomong kata itu tanpa jeda kan maksudnya pasti nama binatang. Nah, kalo pake jedaber/uang—jadi beda lagi maknanya.

Yang kedua, ketaksaan gramatikal. Apakah gerangan maksudnya?

Ketaksaan gramatikal ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Nah, apa itu morfologi dan apa itu sintaksis? Males ah ngebahasnya di sini. Hehehe.. (^o^)v Kita kembali saja pada ketaksaan gramatikal. Pada jenis ini, ketaksaan muncul setidaknya karena dua hal. Pertama, karena pembentukan kata. Pengimbuhan misalnya. Contohnya penggunaan imbuhan pe-. Kalo misalnya awalan ntu kita tempelin ke kata dasar pukul, dan jadi kata pemukul, maknanya bisa lebih dari satu, kan? Nyang satu “alat untuk memukul”, satu laginya “orang yang memukul”. Kedua, perkara frase yang mirip sama kata majemuk. Contoh gampangnya adalah kata orang tua. “Ayah dan ibu” atau “orang yang dianggap tua”?

Jenis terakhir, ketaksaan leksikal, biasanya karena polisemi dan hominimi. Apa maksudnya polisemi dan hominimi? Pasti kalian tau, kan?

Jadi begitulah kira-kira penyebab mengapa ambigu bisa nongol dalam bahasa.

Segini aja postingan kali ini. Maaf jika kurang memuaskan.

Semoga bermanfaat.

Salam tampan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar