Di postingan sebelumnya—nyang ngomongin kalimat
efektif ntu—saya nulis sebuah kata yang kayaknya seru nih kalo dibikin tulisan
sendiri. Kata apakah gerangan? Yak, ambigu!
Mengapa bahasa bisa ambigu?
Saya
pernah baca buku Semantik
I tulisan T.Fatimah
Djadjasudarma. Dalam buku yang terbit dua
tahun setelah saya lahir itu, beliau membagi ambigu (ketaksaan) ke dalam tiga
jenis: ketaksaan fonetik, ketaksaan gramatikal, dan ketaksaan leksikal.
Yang
dimaksud ketaksaan fonetik adalah ketaksaan yang nongol karena nyampurnya bunyi
bahasa yang dilafalkan. Ketaksaan macem ini berhubungan dengan jeda pengucapan.
Misalnya kata “beruang”. Kalo kita ngomong kata itu tanpa jeda kan maksudnya
pasti nama binatang. Nah, kalo pake jeda—ber/uang—jadi beda lagi maknanya.
Yang kedua, ketaksaan gramatikal. Apakah gerangan
maksudnya?
Ketaksaan gramatikal ini muncul pada tataran morfologi
dan sintaksis. Nah, apa itu morfologi dan apa itu sintaksis? Males ah
ngebahasnya di sini. Hehehe.. (^o^)v Kita kembali saja pada ketaksaan
gramatikal. Pada jenis ini, ketaksaan muncul setidaknya karena dua hal. Pertama, karena pembentukan kata. Pengimbuhan
misalnya. Contohnya penggunaan imbuhan pe-. Kalo misalnya awalan ntu kita
tempelin ke kata dasar pukul, dan jadi kata pemukul, maknanya bisa lebih dari satu, kan? Nyang satu “alat untuk
memukul”, satu laginya “orang yang memukul”. Kedua, perkara frase yang mirip sama kata majemuk. Contoh gampangnya
adalah kata orang tua. “Ayah dan ibu”
atau “orang yang dianggap tua”?
Jenis terakhir, ketaksaan leksikal, biasanya karena
polisemi dan hominimi. Apa maksudnya polisemi dan hominimi? Pasti kalian tau,
kan?
Jadi begitulah kira-kira penyebab mengapa ambigu bisa
nongol dalam bahasa.
Segini aja
postingan kali ini. Maaf jika kurang memuaskan.
Semoga bermanfaat.
Salam tampan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar